Rabu, 11 Maret 2015

Manakah yang benar ? APBD Versi Ahok ataukah DPRD ????

“Perseteruan” Gubernur Basuki Purnama dan DPRD Jakarta, tampak sekali terasa dalam Media-Media skala nasional.  Hampir semua Media baik TV, koran nasional maupun Media-Media Online menulis tentang “perseteruan” dua kubu itu. Tampaknya Jakarta memang menjadi model atau menjadi Indonesia mini. Sehingga segala sepak terjang dan warna-warni politiknya amat mempengaruhi warna-warni politik di seluruh seantero tanah air.
Awal mula “perseteruan” itu dimulai dengan penetapan APBD DKI Jakarta oleh DPRD DKI Jakarta pada 27 Januari 2015 di mana kemudian menurut Gubernur DKI Jakarta bahwa terdapat dana siluman atau fiktif sebesar Rp 12, 1 T di dalamnya. Buntutnya Gubernur Ahok mengajukan APBD DKI Jakarta versi e budgeting kepada Mendagri yang di dalamnya tentunya tanpa dana siluman atau fiktif. Ini membuat DPRD DKI Jakarta “marah” karena Gubernur Basuki Purnama mengajukan APBD DKI Jakarta langsung ke Mendagri bukan hasil ketetapan DPRD. Ahokpun dinilai melanggar UU, dan karena itu perlu sidang paripurna DPRD DKI Jakarta untuk membicarakan kemungkinan melaksanakan hak angket.
Hasilnya DPRD DKI Jakarta setuju dilakukan angket, lalu DPRD memilih ketua panitia angket, yang salah satu tugasnya ialah melakukam penelitian tentang dosa-dosa Gubernur Ahok, sehingga dia pantas memiliki kemungkinan untuk “dilengserpaksakan” oleh DPRD DKI Jakarta melalui angket.
Sementara itu, di Media tampak Gubernur Ahok juga cuap-cuap membuka tabir tentang adanya dana fiftif di APBD DKI Jakarta. Ahok membuka alasan mengapa dia tidak menyertakan DPRD dalam pengajuan APBD karena “DPRD memaksa untuk memasukan dana fiktif dalam APBD Jakarta yang diberitakan beragam, bisa Rp 12,1 T dari total Rp 73,08 T yang ditetapkan pada 27 Januari 2015, sebuah jumlah keseluruhan APBD DKI Jakarta tahun 2015 yang mana semuanya untuk urusan pendidikan, rincian dana siluman/fiktif  tersebut antara lain: pelatihan guru ke luar negeri senilai Rp 15 miliar, alat peraga pendidikan anak usia dini sebesar Rp 15 miliar, perangkat sains teknologi rekayasa untuk enam SMK sejumlah Rp 18 miliar, suplai daya bebas gangguan (UPS) untuk dua SMPN mencapai Rp 12 miliar, dan dana laboratorium multifungsi untuk 12 SMAN sebanyak Rp 12,1 Triliun.
APBD hasil penetapan DPRD Jakarta ini kemudian tidak disetujui Ahok. Ahok lebih memilih untuk menyerahkan APBD 2015 DKI Jakarta versi E-Budgeting ke Kemendagri di mana dalam APBD versi E Budgeting tidak ada dana siluman atau fiktif. Tindakan Gubernur Basuki Cahya Purnama ini kemudian menimbulkan “amarah” dari kalangan DPRD DKI Jakarta karena mereka menganggap Gubernur tidak menghargai atau bahkan kurang sopan terhadap kesepakatan Dewan. Perseteruanpun memanas.
CNNIndonesia.com menulis, “Perseteruan antara keduanya berlanjut setelah Pemerintah Provinsi Jakarta mengirim draf APBD 2015 versi e-budgeting kepada Kementerian Dalam Negeri untuk disetujui. Draf itu tak mencantumkan mata anggaran hingga satuan ketiga. DPRD pun merasa dibohongi karena Pemprov tak memasukkan mata anggaran sesuai pembahasan bersama. Apapun, Ahok berkeras memakai draf versi tersebut karena menurutnya DPRD kembali hendak memasukkan anggaran fiktif yang kali ini besarannya mencapai Rp 12,1 triliun. Ahok tak mau kasus dana siluman di APBD Jakarta terulang lagi seperti temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Akhir 2014, BPKP mengungkapkan adanya dana siluman di Dinas Kesehatan dan Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta pada tahun 2013 dan 2014″
Merasa mulai diikuti secara serius oleh DPRD Jakarta, maka hari ini, Ahok secara resmi melaporkan temuan dana fiktif di APBD DKI Jakata yang telah ditetapkan tanggal 27 Januari 2015 oleh DPRD DKI Jakarta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama perangkat pemerintahan DKI Jakarta. Dengan bukti-bukti yang menurutnya akurat Gubernur Ahok mempersilahkan KPK saja yang melakukan penelitian dan penyidikan, “Biar KPK saja yang melakukan penyidikan terhadap bukti-bukti ini”, kata Ahok kepada berbagai Media.
Dirinya mengatakan bahwa dia siap menjadi tumbal asalkan APBD DKI versi e-Budgeting tetap dijalankan, di mana dana fiktif atau siluman tidak diakomodir dalam APBD verdsi e Budgeting.  Tampaknya tekad Gubernur Basuki Purnama sudah bulat agar APBD DKI Jakarta versi e butgeting tetap dipakai meskipun dirinya akan lengser oleh Angket DPRD DKI Jakarta. Itu artinya, bila dana hasil penetapan DPRD Jakarta pada 27 Januari itu yang dipakai maka resikonya dana siluman akan ada juga dan dia siap jadi tumbal asalkan APBD DKI Jakarta versi E Budgeting yang dipakai.
Yang benar saja, pak Gub, setuju yang mana nih yang paling benar APBD hasil penetapan DPRD DKI Jakarta tanggal 27 Januari 2015 ataukah APBD DKI Jakarta versi E Budgeting? Hak angket dibuat oleh DPRD karena mereka merasa dana Rp 12, 1 T akan hilang, dan Gubernur Ahok mengharapkan itu meskipun resikonya dia menjadi tumbal atau lengser. Sementara itu, Gubernur Basuki Purnamapun sudah terlanjur melaporkan dugaan dana fiktif kepada KPK sebagai penyidik resmi tentang korupsi. Itu artinya, bila APBD hasil penetapan DPRD 27 Januari dipakai maka ada terbuka kemungkinan KPK untuk melakukan penyidikan tentang dugaan dana fiktif dalam APBD DKI Jakarta, banyak yang bisa masuk bui atau menjadi tahanan KPK. Sementara itu akibat makin tertundanya penetapatan APBD DKI Jakarta, kini gaji-gaji PNS DKI Jakartapun belum dibayarkan hingga menginjak 2 bulan penuh. Untuk memenuhi kebutuhan, bukan tidak mungkin akan banyak bermunculan berbagai pungutan liar atau pungli pada berbagai urusan di DKI Jakarta
Perseteruan ini seperti kata peribahasa: Dua induk ayam betina berkelahi, anak-anak dari dua induk ayam betina lari tunggang langggang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar