“Perseteruan” Gubernur Basuki Purnama
dan DPRD Jakarta, tampak sekali terasa dalam Media-Media skala nasional.
Hampir semua Media baik TV, koran nasional maupun Media-Media Online
menulis tentang “perseteruan” dua kubu itu. Tampaknya Jakarta memang
menjadi model atau menjadi Indonesia mini. Sehingga segala sepak terjang
dan warna-warni politiknya amat mempengaruhi warna-warni politik di
seluruh seantero tanah air.
Awal mula “perseteruan” itu dimulai
dengan penetapan APBD DKI Jakarta oleh DPRD DKI Jakarta pada 27 Januari
2015 di mana kemudian menurut Gubernur DKI Jakarta bahwa terdapat dana
siluman atau fiktif sebesar Rp 12, 1 T di dalamnya. Buntutnya Gubernur
Ahok mengajukan APBD DKI Jakarta versi e budgeting kepada Mendagri yang
di dalamnya tentunya tanpa dana siluman atau fiktif. Ini membuat DPRD
DKI Jakarta “marah” karena Gubernur Basuki Purnama mengajukan APBD DKI
Jakarta langsung ke Mendagri bukan hasil ketetapan DPRD. Ahokpun dinilai
melanggar UU, dan karena itu perlu sidang paripurna DPRD DKI Jakarta
untuk membicarakan kemungkinan melaksanakan hak angket.
Hasilnya DPRD DKI Jakarta setuju
dilakukan angket, lalu DPRD memilih ketua panitia angket, yang salah
satu tugasnya ialah melakukam penelitian tentang dosa-dosa Gubernur
Ahok, sehingga dia pantas memiliki kemungkinan untuk “dilengserpaksakan”
oleh DPRD DKI Jakarta melalui angket.
Sementara itu, di Media tampak Gubernur
Ahok juga cuap-cuap membuka tabir tentang adanya dana fiftif di APBD DKI
Jakarta. Ahok membuka alasan mengapa dia tidak menyertakan DPRD dalam
pengajuan APBD karena “DPRD memaksa untuk memasukan dana fiktif dalam
APBD Jakarta yang diberitakan beragam, bisa Rp 12,1 T dari total Rp
73,08 T yang ditetapkan pada 27 Januari 2015, sebuah jumlah keseluruhan
APBD DKI Jakarta tahun 2015 yang mana semuanya untuk urusan pendidikan, rincian dana siluman/fiktif tersebut antara lain: pelatihan
guru ke luar negeri senilai Rp 15 miliar, alat peraga pendidikan anak
usia dini sebesar Rp 15 miliar, perangkat sains teknologi rekayasa untuk
enam SMK sejumlah Rp 18 miliar, suplai daya bebas gangguan (UPS) untuk
dua SMPN mencapai Rp 12 miliar, dan dana laboratorium multifungsi untuk
12 SMAN sebanyak Rp 12,1 Triliun.
APBD hasil penetapan DPRD Jakarta ini
kemudian tidak disetujui Ahok. Ahok lebih memilih untuk menyerahkan APBD
2015 DKI Jakarta versi E-Budgeting ke Kemendagri di mana dalam APBD
versi E Budgeting tidak ada dana siluman atau fiktif. Tindakan Gubernur
Basuki Cahya Purnama ini kemudian menimbulkan “amarah” dari kalangan
DPRD DKI Jakarta karena mereka menganggap Gubernur tidak menghargai atau
bahkan kurang sopan terhadap kesepakatan Dewan. Perseteruanpun memanas.
CNNIndonesia.com menulis, “Perseteruan
antara keduanya berlanjut setelah Pemerintah Provinsi Jakarta mengirim
draf APBD 2015 versi e-budgeting kepada Kementerian Dalam Negeri untuk
disetujui. Draf itu tak mencantumkan mata anggaran hingga satuan ketiga.
DPRD pun merasa dibohongi karena Pemprov tak memasukkan mata anggaran
sesuai pembahasan bersama. Apapun, Ahok berkeras
memakai draf versi tersebut karena menurutnya DPRD kembali hendak
memasukkan anggaran fiktif yang kali ini besarannya mencapai Rp 12,1
triliun. Ahok tak mau kasus dana siluman di APBD Jakarta
terulang lagi seperti temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Akhir 2014, BPKP mengungkapkan adanya dana siluman di Dinas Kesehatan
dan Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta pada tahun 2013 dan 2014″
Merasa mulai diikuti secara serius oleh
DPRD Jakarta, maka hari ini, Ahok secara resmi melaporkan temuan dana
fiktif di APBD DKI Jakata yang telah ditetapkan tanggal 27 Januari 2015
oleh DPRD DKI Jakarta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama
perangkat pemerintahan DKI Jakarta. Dengan bukti-bukti yang menurutnya
akurat Gubernur Ahok mempersilahkan KPK saja yang melakukan penelitian
dan penyidikan, “Biar KPK saja yang melakukan penyidikan terhadap
bukti-bukti ini”, kata Ahok kepada berbagai Media.
Dirinya mengatakan bahwa dia siap
menjadi tumbal asalkan APBD DKI versi e-Budgeting tetap dijalankan, di
mana dana fiktif atau siluman tidak diakomodir dalam APBD verdsi e
Budgeting. Tampaknya tekad Gubernur Basuki Purnama sudah bulat agar
APBD DKI Jakarta versi e butgeting tetap dipakai meskipun dirinya akan
lengser oleh Angket DPRD DKI Jakarta. Itu artinya, bila dana hasil
penetapan DPRD Jakarta pada 27 Januari itu yang dipakai maka resikonya
dana siluman akan ada juga dan dia siap jadi tumbal asalkan APBD DKI
Jakarta versi E Budgeting yang dipakai.
Yang benar saja, pak Gub, setuju yang
mana nih yang paling benar APBD hasil penetapan DPRD DKI Jakarta tanggal
27 Januari 2015 ataukah APBD DKI Jakarta versi E Budgeting? Hak angket
dibuat oleh DPRD karena mereka merasa dana Rp 12, 1 T akan hilang, dan
Gubernur Ahok mengharapkan itu meskipun resikonya dia menjadi tumbal
atau lengser. Sementara itu, Gubernur Basuki Purnamapun sudah terlanjur
melaporkan dugaan dana fiktif kepada KPK sebagai penyidik resmi tentang
korupsi. Itu artinya, bila APBD hasil penetapan DPRD 27 Januari dipakai
maka ada terbuka kemungkinan KPK untuk melakukan penyidikan tentang
dugaan dana fiktif dalam APBD DKI Jakarta, banyak yang bisa masuk bui
atau menjadi tahanan KPK. Sementara itu akibat makin tertundanya
penetapatan APBD DKI Jakarta, kini gaji-gaji PNS DKI Jakartapun belum
dibayarkan hingga menginjak 2 bulan penuh. Untuk memenuhi kebutuhan,
bukan tidak mungkin akan banyak bermunculan berbagai pungutan liar atau
pungli pada berbagai urusan di DKI Jakarta
Perseteruan ini seperti kata peribahasa: Dua induk ayam betina berkelahi, anak-anak dari dua induk ayam betina lari tunggang langggang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar